Tantangan Terkini Perusahaan Startup di Indonesia: Analisis Penurunan Investasi

Tantangan Terkini Perusahaan Startup di Indonesia: Analisis Penurunan Investasi

Denyut perusahaan startup di Indonesia nampaknya tengah mengalami tantangan yang signifikan, dengan sejumlah perusahaan ‘kekinian’ terpaksa gulung tikar. Faktor-faktor seperti kondisi ekonomi global, dampak pandemi COVID-19, dan persaingan bisnis menjadi pemicu utama kelemahan ini. Suntikan modal, yang sebelumnya menjadi penyokong utama pertumbuhan startup, juga ikut menyusut.

Menurut Laporan e-Conomy SEA 2023 yang dirilis oleh Google, Temasek, dan Bain and Company, investasi ke startup di Indonesia mengalami penurunan drastis sebesar 87 persen secara tahunan. Jumlah ini merosot dari US$3,3 miliar menjadi US$400 juta selama semester I-2023. Penurunan pendanaan startup juga terjadi di negara-negara lain di Asia Tenggara, termasuk Filipina, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Vietnam.

Investor, dalam 12 bulan terakhir, merasakan ketidakpastian dalam prospek investasi mereka. Sebanyak 87 persen investor menyatakan kesulitan dalam penggalangan dana, sementara 64 persen kurang antusias untuk berinvestasi. Kesulitan keluar (exit) dari investasi juga dialami oleh 88 persen pemilik modal, terutama melalui initial public offering (IPO) dan strategi exit lainnya.

Dampak global dari tren ini terlihat dalam periode ‘kepunahan’ bagi startup teknologi. Catra Equity Management melaporkan bahwa setidaknya 543 startup di seluruh dunia mengalami kebangkrutan tahun ini. Peningkatan startup yang mengumpulkan dana dengan valuasi lebih rendah dan peningkatan jumlah startup bangkrut pada kuartal III-2023 menunjukkan ketidakpastian yang semakin meningkat.

Pitchbook melaporkan bahwa pendanaan modal ventura untuk startup turun lebih dari setengahnya sejak tahun lalu di seluruh dunia, dan angka penggalangan dana tahunan untuk 2023 menuju level terendah sejak 2015.

Kekeringan modal dan sempitnya peluang exit strategy, seperti lewat IPO, diakuisisi, atau merger, membuat startup kesulitan memulai atau bertahan. Banyak yang menyebut tren ini sebagai “momentum kepunahan startup,” mengingat sebelumnya, perusahaan rintisan mudah menggalang dana.

Beberapa startup di Indonesia, seperti Pegipegi, Rumah.com, JD.ID, CoHive, Fabelio, Airy Rooms, Qlapa, Beres.id, hingga HOOQ, terpaksa tutup. Namun, masih ada startup yang berhasil, seperti eFishery, Gojek, Traveloka, Bukalapak, dan Tokopedia, yang bahkan menerima suntikan modal besar dari TikTok.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Akhmad Akbar Susamto, mengidentifikasi enam faktor penyebab tutupnya sejumlah startup di Indonesia. Pertama, peningkatan persaingan di berbagai sektor membuat startup tanpa daya saing tinggi sulit bertahan. Kedua, model bisnis dan skalabilitas yang tidak efisien menjadi kendala serius. Ketiga, kesalahan dalam manajemen dan eksekusi strategi juga dapat berujung pada kegagalan. Keempat, tekanan dari investor untuk pertumbuhan cepat dapat mengarah pada keputusan yang tidak matang. Kelima, perubahan preferensi investor dari pertumbuhan cepat ke model bisnis berkelanjutan. Keenam, pandemi COVID-19 menyebabkan kesulitan adaptasi bagi startup yang beroperasi di sektor yang terdampak.

Dalam konteks ini, Akhmad menekankan perlunya regulasi yang jelas dan dukungan pemerintah untuk perkembangan startup. Menciptakan iklim bisnis yang sehat dan kondusif, serta memberikan fasilitas bagi UMKM, dianggap sebagai langkah penting dalam menjaga stabilitas ekosistem startup di Indonesia.

Demikian informasi seputar perkembangan startup di Indonesia. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Memuslima.com.