Tarif Pajak Hiburan Naik 40 Persen: Kehidupan Hotel di Bali Semakin Sulit

Tarif Pajak Hiburan Naik 40 Persen: Kehidupan Hotel di Bali Semakin Sulit

Peningkatan tarif pajak hiburan sebesar 40 persen disebut sebagai beban berat bagi industri hotel di seluruh Indonesia yang sedang pulih dari dampak pandemi COVID-19. Head of Advisory Services Colliers, Monica Koesnovagril menyampaikan kekhawatiran tersebut dalam Media Briefing Kuartal IV 2023 secara virtual. Menurut Monica, kenaikan pajak untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa memberatkan hotel yang sedang dalam tahap pemulihan pascapandemi. Hal ini disebabkan karena hotel-hotel kini tengah berusaha pulih dari dampak pandemi, dan kenaikan pajak sebesar 40 persen dianggap sebagai beban tambahan yang signifikan.

Monica menekankan bahwa tidak semua hotel di Bali dapat menanggung beban kenaikan tarif pajak hiburan ini. Terdapat perbedaan penilaian dari orang luar terhadap kondisi hotel di Bali, dan dampak sebenarnya dari kenaikan tarif pajak ini masih perlu dipelajari lebih lanjut di lapangan.

Dengan merujuk pada data Colliers, banyak hotel di Bali mengalami penutupan pada periode 2020-2023. Meskipun beberapa hotel kemudian dibuka kembali, masih banyak yang harus menyerah. Meskipun pariwisata ke Bali, baik dari wisatawan domestik maupun asing, meningkat sejak 2022, tarif pajak yang diberlakukan pada kelompok spa dan sejenisnya ternyata memberikan dampak negatif.

Perubahan dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) terkait tarif pajak hiburan menciptakan keberatan di kalangan pelaku industri. Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya, mengecam kebijakan baru tersebut, terutama terkait tarif pajak untuk kegiatan spa.

Suryawijaya menyatakan bahwa kebijakan ini dapat merugikan usaha spa di Bali, mengingat sebelumnya tarif pajak hanya sebesar 15 persen. Ia berpendapat bahwa perbedaan antara spa sebagai kegiatan kebugaran dan hiburan seperti diskotek atau karaoke harus diakui, dan tarif pajak harus disesuaikan dengan konteks masing-masing.

Di sisi lain, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan mengklaim bahwa UU HKPD sudah mempertimbangkan pendapat berbagai pihak terkait. Lydia Kurniawati Christyana, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJPK Kemenkeu, menyatakan bahwa penetapan tarif pajak ini didasarkan pada masukan dari berbagai pihak, termasuk praktik pemungutan di lapangan.

Ia menekankan bahwa batas bawah tarif pajak hiburan ditetapkan untuk membantu masyarakat yang kurang mampu, dan kebijakan ini mencerminkan upaya pemerintah dalam mencapai keadilan sosial. Meskipun demikian, dampak konkret dari kebijakan ini terhadap industri hotel, terutama di Bali, masih perlu dipantau lebih lanjut.

Demikian informasi seputar kebijakan baru mengenai tarif pajak hiburan 40 persen untuk industri hotel. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Memuslima.Com.